JAKARTA, Cobisnis.com – Harga minyak dunia kembali melemah pada perdagangan pagi Rabu (31/12/2025), memperpanjang tekanan yang sudah terjadi hampir sepanjang tahun. Kondisi ini menempatkan minyak Brent di jalur koreksi tahunan terpanjang dalam sejarah perdagangan modern.
Sepanjang 2025, harga minyak tercatat turun lebih dari 10 persen, di tengah ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan global. Tahun ini juga diwarnai konflik geopolitik, kebijakan tarif yang lebih ketat, serta peningkatan produksi dari negara-negara OPEC+.
Pada pukul 09.30 WIB, harga minyak mentah berjangka Brent tercatat turun hampir 18 persen secara tahunan. Penurunan ini menjadi yang paling tajam sejak 2018 dan menandai pelemahan selama tiga tahun berturut-turut.
Kontrak Brent untuk pengiriman Maret 2026 turun 6 sen ke level US$ 61,27 per barel. Angka ini mencerminkan tekanan berkelanjutan dari pasokan yang terus mengalir ke pasar global.
Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak Februari 2026 ikut melemah 5 sen ke US$ 57,90 per barel. Secara tahunan, WTI berada di jalur penurunan sekitar 15 persen.
Pasar minyak sempat menguat di awal 2025 saat Amerika Serikat memberlakukan sanksi lebih ketat terhadap Rusia. Kebijakan tersebut sempat mengganggu pasokan ke negara importir utama seperti China dan India.
Ketegangan geopolitik meningkat ketika perang Ukraina merusak infrastruktur energi Rusia, ditambah konflik Iran dan Israel yang memicu kekhawatiran gangguan jalur pelayaran di Selat Hormuz, salah satu jalur minyak terpenting dunia.
Namun sentimen tersebut perlahan memudar ketika OPEC+ mempercepat peningkatan produksi minyak. Sejak April, sekitar 2,9 juta barel per hari tambahan dilepas ke pasar, menambah tekanan pada harga.
Kekhawatiran lain datang dari potensi perlambatan ekonomi global akibat tarif Amerika Serikat. Kondisi ini dinilai dapat menekan pertumbuhan permintaan bahan bakar di berbagai sektor industri dan transportasi.
OPEC+ kini memutuskan menghentikan sementara peningkatan produksi untuk kuartal pertama 2026. Pertemuan lanjutan dijadwalkan berlangsung pada 4 Januari mendatang, yang akan menjadi sorotan pelaku pasar.
Sebagian besar analis memproyeksikan pasokan minyak tahun depan masih akan melampaui permintaan. Badan Energi Internasional memperkirakan surplus mencapai 3,84 juta barel per hari, sementara Goldman Sachs menaksir sekitar 2 juta barel per hari.
Analis Morgan Stanley menilai pemangkasan produksi baru akan dipertimbangkan jika harga turun lebih dalam, bahkan ke kisaran US$ 50 per barel. Kondisi ini menunjukkan tekanan harga masih berpotensi berlanjut.