JAKARTA, COBISNIS.COM - Posisi utang pemerintah mengalami penurunan sebesar Rp 40,76 triliun, dari Rp 8.502,69 triliun pada akhir Juli 2024 menjadi Rp 8.461,93 triliun pada akhir Agustus 2024.
Menurut Riko Amir, Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan di Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu), penurunan tersebut disebabkan oleh pembayaran utang yang jatuh tempo pada bulan Agustus.
Ia menjelaskan bahwa jatuh tempo utang tidak terjadi dalam satu waktu saja, tetapi tersebar sepanjang tahun, dan pada Agustus terdapat pembayaran besar yang menyebabkan penurunan jumlah utang.
Selain itu, penurunan utang juga berdampak pada penurunan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yang turun menjadi 38,49 persen dari sebelumnya 38,68 persen.
Menurut Riko, rasio utang ini masih berada dalam batas aman, mengingat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Keuangan Negara menetapkan batas aman rasio utang pada 60 persen terhadap PDB.
Riko berharap tren penurunan rasio utang ini dapat terus berlanjut. Ia juga mengingatkan bahwa utang Indonesia sempat mengalami peningkatan signifikan, 2 hingga 3 kali lipat, selama pandemi Covid-19 untuk menanggulangi dampak ekonomi. Namun, seiring perbaikan penerimaan negara, rasio utang terhadap PDB telah berhasil diturunkan.
Dalam Laporan APBN KiTa edisi September 2024, Kementerian Keuangan merinci komposisi utang pemerintah. Dari total utang sebesar Rp 8.461,93 triliun, mayoritas berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), yaitu sebesar Rp 7.452,56 triliun atau 88,07 persen dari total utang. Sisanya sebesar 11,93 persen berasal dari pinjaman senilai Rp 1.009,37 triliun.
Adapun komposisi utang dari penerbitan SBN terdiri dari SBN Domestik senilai Rp 6.063,41 triliun dan SBN Valas senilai Rp 1.389,14 triliun. Sedangkan, pinjaman sebesar Rp 1.009,37 triliun berasal dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp 39,63 triliun dan pinjaman luar negeri senilai Rp 969,74 triliun.
Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa per akhir Agustus 2024, kepemilikan SBN domestik didominasi oleh investor dalam negeri dengan porsi 85,5 persen, sedangkan investor asing hanya memegang sekitar 14,5 persen, termasuk pemerintah dan bank sentral asing. Lembaga keuangan domestik menjadi pemilik terbesar dengan 41,3 persen, yang terdiri dari perbankan sebesar 19,2 persen, perusahaan asuransi dan dana pensiun sebesar 18,9 persen, serta reksadana sebesar 3,2 persen.
Menurut Riko Amir, Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan di Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu), penurunan tersebut disebabkan oleh pembayaran utang yang jatuh tempo pada bulan Agustus.
Ia menjelaskan bahwa jatuh tempo utang tidak terjadi dalam satu waktu saja, tetapi tersebar sepanjang tahun, dan pada Agustus terdapat pembayaran besar yang menyebabkan penurunan jumlah utang.
Selain itu, penurunan utang juga berdampak pada penurunan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yang turun menjadi 38,49 persen dari sebelumnya 38,68 persen.
Menurut Riko, rasio utang ini masih berada dalam batas aman, mengingat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Keuangan Negara menetapkan batas aman rasio utang pada 60 persen terhadap PDB.
Riko berharap tren penurunan rasio utang ini dapat terus berlanjut. Ia juga mengingatkan bahwa utang Indonesia sempat mengalami peningkatan signifikan, 2 hingga 3 kali lipat, selama pandemi Covid-19 untuk menanggulangi dampak ekonomi. Namun, seiring perbaikan penerimaan negara, rasio utang terhadap PDB telah berhasil diturunkan.
Dalam Laporan APBN KiTa edisi September 2024, Kementerian Keuangan merinci komposisi utang pemerintah. Dari total utang sebesar Rp 8.461,93 triliun, mayoritas berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), yaitu sebesar Rp 7.452,56 triliun atau 88,07 persen dari total utang. Sisanya sebesar 11,93 persen berasal dari pinjaman senilai Rp 1.009,37 triliun.
Adapun komposisi utang dari penerbitan SBN terdiri dari SBN Domestik senilai Rp 6.063,41 triliun dan SBN Valas senilai Rp 1.389,14 triliun. Sedangkan, pinjaman sebesar Rp 1.009,37 triliun berasal dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp 39,63 triliun dan pinjaman luar negeri senilai Rp 969,74 triliun.
Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa per akhir Agustus 2024, kepemilikan SBN domestik didominasi oleh investor dalam negeri dengan porsi 85,5 persen, sedangkan investor asing hanya memegang sekitar 14,5 persen, termasuk pemerintah dan bank sentral asing. Lembaga keuangan domestik menjadi pemilik terbesar dengan 41,3 persen, yang terdiri dari perbankan sebesar 19,2 persen, perusahaan asuransi dan dana pensiun sebesar 18,9 persen, serta reksadana sebesar 3,2 persen.