JAKARTA, Cobisnis.com – Sebuah video dari pendaki yang baru menjejak Puncak Jayawijaya, Papua, bikin warganet terdiam. Lewat akun TikTok @/kangadul94, ia membagikan potongan momen saat menyentuh sisa “salju abadi” yang kini terlihat makin tipis dan kotor akibat pencairan cepat.
Salju di Puncak Jayawijaya selama ini jadi ikon langka Indonesia, satu-satunya salju tropis di dunia. Tapi keindahan itu tampaknya tinggal menunggu waktu untuk lenyap. Dari hasil penelitian Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bersama lembaga riset lain, ketebalan es yang pada 2010 masih sekitar 32 meter kini hanya tersisa 4–8 meter.
Artinya, dalam kurun 15 tahun, hampir tiga perempat lapisan es di puncak tersebut hilang. Para peneliti memperingatkan, jika tren ini berlanjut, salju abadi di Pegunungan Jayawijaya bisa benar-benar punah pada 2026.
Fenomena ini bukan hal baru, tapi kecepatannya meningkat tajam akibat pemanasan global. Suhu permukaan yang makin tinggi serta efek El Niño mempercepat pencairan di kawasan tropis yang semestinya tak kehilangan es secepat itu.
Video pendaki tersebut langsung ramai di media sosial. Banyak pengguna mengungkap rasa sedih dan tak percaya bahwa “salju abadi” yang dulu jadi kebanggaan negeri bisa hilang hanya dalam waktu beberapa tahun.
BMKG menegaskan, hilangnya salju Jayawijaya bukan sekadar soal pemandangan. Ini sinyal kuat bahwa krisis iklim benar-benar nyata dan sedang berlangsung di Indonesia. Dampaknya bisa menjalar ke perubahan pola cuaca, ketersediaan air, hingga potensi bencana di wilayah sekitar.
Selain itu, hilangnya salju juga berdampak pada aspek sosial dan ekonomi masyarakat sekitar. Pegunungan Jayawijaya selama ini jadi magnet wisata pendakian, penelitian, dan simbol kebanggaan lokal. Ketika salju hilang, potensi wisata dan identitas kawasan ikut terancam.
Para peneliti kini terus memantau laju pencairan dengan citra satelit dan alat pengukur suhu udara di lapangan. Dalam laporan terakhir, tren pelelehan bahkan makin cepat sejak pertengahan 2024.
Beberapa aktivis lingkungan menyerukan agar pemerintah lebih serius menekan emisi karbon dan mendorong program adaptasi iklim di kawasan timur Indonesia. Mereka menilai, hilangnya salju Jayawijaya adalah “alarm keras” bagi semua pihak bahwa waktu kita makin sedikit untuk bertindak.
Kini, salju di atap Papua itu bukan lagi sekadar simbol alam, tapi pengingat bahwa perubahan iklim bukan cerita jauh di luar negeri—melainkan kenyataan di depan mata kita sendiri.