JAKARTA, Cobisnis.com – Tren jasa titip (jastip) luar negeri makin booming di media sosial. Dari tas branded, skincare Korea, sampai sneakers langka, semua bisa dipesan lewat jastiper yang rutin terbang ke luar negeri. Tapi di balik gaya hidup kekinian ini, ada efek ekonomi yang jarang disadari: rupiah bisa pelan-pelan melemah.
Setiap kali orang beli barang lewat jastip, transaksi ke penjual luar negeri dilakukan dalam mata uang asing biasanya dolar AS. Artinya, para jastiper harus menukar rupiah ke dolar buat membayar barang yang dipesan. Semakin ramai jastip, semakin tinggi permintaan terhadap dolar.
Ketika permintaan dolar naik tapi suplai dolar di pasar terbatas, otomatis nilai tukar dolar menguat. Efeknya, rupiah melemah. Ini terjadi bukan karena transaksi besar dari perusahaan, tapi dari jutaan transaksi kecil yang nilainya kalau dijumlah bisa sangat signifikan.
Secara ekonomi, tren jastip mirip dengan kegiatan impor dalam skala mikro. Barang masuk, uang keluar. Tapi bedanya, transaksi jastip sering kali gak tercatat resmi dalam neraca perdagangan negara. Jadi, uang keluar tanpa ada pemasukan balik dari ekspor.
Uang yang seharusnya berputar di ekonomi lokal malah lari ke luar negeri. Kalau makin banyak masyarakat yang beli produk luar dibanding produk lokal, konsumsi dalam negeri bisa menurun. Akibatnya, produksi lokal gak berkembang maksimal.
Selain itu, fenomena jastip juga bikin sektor UMKM makin berat bersaing. Barang impor yang masuk lewat jastip sering dianggap lebih keren atau berkualitas, padahal banyak produk lokal yang gak kalah bagus. Kalau tren ini terus berlanjut, ekonomi domestik bisa kehilangan daya dorongnya.
Ekonom menilai, tren jastip luar negeri termasuk bentuk capital outflow kecil-kecilan yang dampaknya terasa kalau dilakukan masif. Karena uang yang dibelanjakan gak menghasilkan nilai tambah di dalam negeri, rupiah jadi makin sensitif terhadap gejolak global.
Namun, di sisi lain, jasa titip juga punya sisi positif. Banyak pelaku jastip yang sukses membuka lapangan kerja tambahan, mulai dari admin, jasa pengemasan, sampai kurir pengiriman. Di skala mikro, ekonomi digital tetap bergerak, meski arah arus uangnya keluar negeri.
Pemerintah bisa mempertimbangkan regulasi yang lebih tegas untuk menyeimbangkan tren jastip. Misalnya, pengawasan nilai barang masuk, kebijakan pajak impor kecil, atau dukungan terhadap produk lokal biar gak kalah bersaing.
Pada akhirnya, jastip luar negeri bukan cuma soal belanja barang keren dari luar negeri. Di baliknya, ada cerita tentang bagaimana gaya hidup digital bisa ikut menggerakkan bahkan mengguncang stabilitas nilai tukar rupiah.